Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Yang terhormat kepada Bapak Alfiono selaku guru
Bahasa Indonesia, dan rekan – rekanku yang berbahagia .
Pertama – tama saya panjatkan puja dan puji syukur kepada
Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
sehingga saya dapat berdiri di tempat ini.
Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada
junjungan kita nabi Muhammad SAW, karena yang telah
membawa kita dari zaman jahilliyah menuju zaman islamiyyah.
Kesempatan kali ini saya akan membawakan pidato dengan judul
“Berbahasa Indonesia dengan Baik dan Benar Merupakan Cermin
Kecintaan Terhadap Budaya Bangsa.” Harus diakui bahwa topik
ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Namun, untuk
mengantisipasi semakin luasnya sikap menipis kebanggaan
terhadap bahasa Indonesia kita akhir-akhir ini.
Rekan – rekanku yang berbahagia.
Kita sebagai generasi penerus wajib bersyukur karena
begitu merdeka kita sudah memiliki bahasa nasional. Keadaan
seperti ini tidak banyak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain.
Mengapa demikian ? Terjadi perebutan antar suku-suku agar
bahasa daerahnya diangkat sebagai bahasa nasional bangsa di
negara tersebut.
Jika dilihat dari sejarahnya, keputusan para pemuda
ketika itu ,untuk menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan merupakan cermin semangat nasionalisme yang
sangat tinggi. Bayangkan, negara Indonesia terdiri dari
berbagai suku yang berbeda antar wilayah. Namun, karena
dilandasi nasionalisme yang tinggi, mereka tidak berebut
pengaruh
agar bahasa daerahnya diangkat menjadi bahasa nasional.
Seandainya nasioanlisme mereka tipis, bukan mustahil hingga
saat ini kita belum mempunyai bahasa nasional.
Nah, sekarang sebagai generasi penerus, bagaimana
cara mewujudkan rasa syukur itu?
Menurut saya, pertama-tama, kita harus bangga
berbahasa Indonesia. Kebanggaan itu kita wujudkan dalam
perilaku berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Apakah
sebenarnya
yang dimaksud berbahasa Indonesia dengan baik dan benar itu ?
Apakah dimana pun dan kapan pun harus menggunakan bahasa
Indonesia baku ? Dalam konteks ini memang diantara kita masih
banyak yang pengertian, dikiranya berbahasa Indonesia yang
baik dan benar itu adalah bahasa Indonesia yang baku dalam
segala tempat atau dalam segala situasi. Padahal tidak
demikian, maksud berbahasa Indonesia dengan baik dan benar
adalah berbahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma
kemasyarakatan yang berlaku sesuai dengan kaidah-kaidah
bahasa Indonesia serta situasi dan kondisi.
Rekan – rekanku setanah air dan bangsa.
Dalam bahasa Indonesia dikenal ada 2 ragam yaitu
ragam baku dan tidak baku. Ragam baku ditandai oleh beberapa
hal, diantaranya adalah pilihan kata yang tidak
mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah
atau bahasa asing, kecuali kata-kata itu memang sudah diserap
ke dalam bahasa Indonesia. Disamping itu, ragam baku sangat
memperhatikan ketetapan penggunaan gramatika. Kaidah yang
terkait dengan sistem bunyi, pembentukan kata-kata dan
kalimat diikuti secara ketat. Namun dalam bahasa tidak baku,
pilihan kata dan gramatika tidak diikuti seketat dalam bahasa
baku. Jika bisa diibaratkan bahasa adalah sebuah pakaian, kita
akan menggunakan pakaian tidur pada saat tidur. Akan tetapi,
tentu kita akan mengenakan pakaian yang disetrika rapi, sepatu
yang mengkilat pada saat kita akan menghadiri suatu
pertemuan resmi.
Rekan – rekanku seperjuangan.
Sama-halnya dengan bahasa Indonesia, kita harus bisa
menempatkan penggunaan kedua ragam bahasa
tersebut,contohnya: ketika berbicara di depan kelas, dalam
rapat,dalam seminar,atau sejenisnya,kita harus menggunakan
bahasa baku. Namun, ketika berbicara di pasar,di warung kopi,di
lapangan, hendaklah menggunakan bahasa Indonesia yang santai
dan akrab yang tidak terlalu terikat patokan ( tidak baku ).
Rekan – rekanku yang dimuliakan.
Namun,sekarang kita melihat kecenderungan
ketidakpedulian didalam menggunakan bahasa Indonesia. Ketika
dalam situasi resmi,banyak diantara kita menggunakan bahasa
tidak baku, misalnya menggunakan bentuk-bentuk seperti: gue
dan loe, dll.
Jika kebanggaan berbahasa Indonesia semakin meluntur,
maka tidak ada yang menjamin bahwa bahasa Indonesia akan
tetap lestari. Ingatkah tentang kasus matinya beberapa bahasa
misalnya : bahasa Latin dan bahasa Kawi ? Pada masanya, kedua
bahasa itu termasuk bahasa yang tinggi yang didukung oleh
tradisi sastra yang tinggi pula. Namun, mana kala para
pendukungnya tidak menghargainya, kedua bahasa tersebut
akhirnya mati. Kasus yang dialami kedua bahasa itu tentunya
jangan sampai terjadi pada bahasa Indonesia.
Rekan – rekanku setanah air sebangsa .
Demikianlah apa yang dapat saya uraikan dalam pidato
ini. Semoga dapat bermanfaat, dan saya mohon maaf apabila
terdapat salah kata yang disengaja atau pun tidak disengaja,
akhir kata.
Wassalamu’alaikun Wr.Wb
Yang terhormat kepada Bapak Alfiono selaku guru
Bahasa Indonesia, dan rekan – rekanku yang berbahagia .
Pertama – tama saya panjatkan puja dan puji syukur kepada
Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
sehingga saya dapat berdiri di tempat ini.
Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada
junjungan kita nabi Muhammad SAW, karena yang telah
membawa kita dari zaman jahilliyah menuju zaman islamiyyah.
Kesempatan kali ini saya akan membawakan pidato dengan judul
“Berbahasa Indonesia dengan Baik dan Benar Merupakan Cermin
Kecintaan Terhadap Budaya Bangsa.” Harus diakui bahwa topik
ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Namun, untuk
mengantisipasi semakin luasnya sikap menipis kebanggaan
terhadap bahasa Indonesia kita akhir-akhir ini.
Rekan – rekanku yang berbahagia.
Kita sebagai generasi penerus wajib bersyukur karena
begitu merdeka kita sudah memiliki bahasa nasional. Keadaan
seperti ini tidak banyak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain.
Mengapa demikian ? Terjadi perebutan antar suku-suku agar
bahasa daerahnya diangkat sebagai bahasa nasional bangsa di
negara tersebut.
Jika dilihat dari sejarahnya, keputusan para pemuda
ketika itu ,untuk menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan merupakan cermin semangat nasionalisme yang
sangat tinggi. Bayangkan, negara Indonesia terdiri dari
berbagai suku yang berbeda antar wilayah. Namun, karena
dilandasi nasionalisme yang tinggi, mereka tidak berebut
pengaruh
agar bahasa daerahnya diangkat menjadi bahasa nasional.
Seandainya nasioanlisme mereka tipis, bukan mustahil hingga
saat ini kita belum mempunyai bahasa nasional.
Nah, sekarang sebagai generasi penerus, bagaimana
cara mewujudkan rasa syukur itu?
Menurut saya, pertama-tama, kita harus bangga
berbahasa Indonesia. Kebanggaan itu kita wujudkan dalam
perilaku berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Apakah
sebenarnya
yang dimaksud berbahasa Indonesia dengan baik dan benar itu ?
Apakah dimana pun dan kapan pun harus menggunakan bahasa
Indonesia baku ? Dalam konteks ini memang diantara kita masih
banyak yang pengertian, dikiranya berbahasa Indonesia yang
baik dan benar itu adalah bahasa Indonesia yang baku dalam
segala tempat atau dalam segala situasi. Padahal tidak
demikian, maksud berbahasa Indonesia dengan baik dan benar
adalah berbahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma
kemasyarakatan yang berlaku sesuai dengan kaidah-kaidah
bahasa Indonesia serta situasi dan kondisi.
Rekan – rekanku setanah air dan bangsa.
Dalam bahasa Indonesia dikenal ada 2 ragam yaitu
ragam baku dan tidak baku. Ragam baku ditandai oleh beberapa
hal, diantaranya adalah pilihan kata yang tidak
mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah
atau bahasa asing, kecuali kata-kata itu memang sudah diserap
ke dalam bahasa Indonesia. Disamping itu, ragam baku sangat
memperhatikan ketetapan penggunaan gramatika. Kaidah yang
terkait dengan sistem bunyi, pembentukan kata-kata dan
kalimat diikuti secara ketat. Namun dalam bahasa tidak baku,
pilihan kata dan gramatika tidak diikuti seketat dalam bahasa
baku. Jika bisa diibaratkan bahasa adalah sebuah pakaian, kita
akan menggunakan pakaian tidur pada saat tidur. Akan tetapi,
tentu kita akan mengenakan pakaian yang disetrika rapi, sepatu
yang mengkilat pada saat kita akan menghadiri suatu
pertemuan resmi.
Rekan – rekanku seperjuangan.
Sama-halnya dengan bahasa Indonesia, kita harus bisa
menempatkan penggunaan kedua ragam bahasa
tersebut,contohnya: ketika berbicara di depan kelas, dalam
rapat,dalam seminar,atau sejenisnya,kita harus menggunakan
bahasa baku. Namun, ketika berbicara di pasar,di warung kopi,di
lapangan, hendaklah menggunakan bahasa Indonesia yang santai
dan akrab yang tidak terlalu terikat patokan ( tidak baku ).
Rekan – rekanku yang dimuliakan.
Namun,sekarang kita melihat kecenderungan
ketidakpedulian didalam menggunakan bahasa Indonesia. Ketika
dalam situasi resmi,banyak diantara kita menggunakan bahasa
tidak baku, misalnya menggunakan bentuk-bentuk seperti: gue
dan loe, dll.
Jika kebanggaan berbahasa Indonesia semakin meluntur,
maka tidak ada yang menjamin bahwa bahasa Indonesia akan
tetap lestari. Ingatkah tentang kasus matinya beberapa bahasa
misalnya : bahasa Latin dan bahasa Kawi ? Pada masanya, kedua
bahasa itu termasuk bahasa yang tinggi yang didukung oleh
tradisi sastra yang tinggi pula. Namun, mana kala para
pendukungnya tidak menghargainya, kedua bahasa tersebut
akhirnya mati. Kasus yang dialami kedua bahasa itu tentunya
jangan sampai terjadi pada bahasa Indonesia.
Rekan – rekanku setanah air sebangsa .
Demikianlah apa yang dapat saya uraikan dalam pidato
ini. Semoga dapat bermanfaat, dan saya mohon maaf apabila
terdapat salah kata yang disengaja atau pun tidak disengaja,
akhir kata.
Wassalamu’alaikun Wr.Wb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar